Selasa, 18 Januari 2011

Sekilas Tentang Jepang

Jepang sebagai salah satu negri yang maju memiliki sistem publik yang teratur dan benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Kehidupan ekonomi rakyatnya bisa dibilang merata. Kalaupun ada yang kaya katakanlah begitu, tetap perbedaannya gak sedrastis kalo di tanah air. Di sini yang punya kendaraan roda empat memberi kesempatan jalan kepada yang beroda dua. Umumnya di Jepang ini mayoritas penduduknya lebih menyukai berkendaraan dengan sepeda. Mental orang Jepang memang tidak dididik untuk minder karena keberadaan diri harus bersepeda ria.

Di negri ini pula, orang bebas melakukan apa aja yang mereka mau selagi hal itu tidak merugikan orang lain ato menyangkut kepentingan khalayak umum. Mau ciuman ato pelukan di depan umum, mau mabok ato ngoceh sendiri kayak orang gila sekalipun tak jadi soal, di sini manusia-manusianya sibuk sendiri-sendiri. Jangan membayangkan bakal ada pandangan aneh, sinis, dan keluar kata-kata yang gak sedap melihat pemandangan yang ada di sekitar. Dalam etika berpakaianpun gak ada aturan baku, semua bisa jadi fesyen, mau si cowok pake tas ala cewek sekalipun, itu dikatakan fesyen, mau pake pakaian norak sekalipun tetep jatuhnya fesyen. Jangan berharap orang-orang disini akan keluar omongan-omongan miring ngeliat cara berpakaian orang-orang di sekitarnya.

Adapun sedari kecil memang orang Jepang diajarkan untuk menerima segala perbedaan yang ada. Ketika anak-anak melihat ada orang gila ato orang cacat yang lewat di depan mereka, tidak akan kita dapati anak-anak tersebut mengolok-olok orang gila ato orang cacat tersebut. Orang-orang Jepang memang dibiasakan sedari kecil diajari untuk tidak merugikan orang lain. Walo si anak masih kecil sekalipun akan dicegah ato dimarahi oleh orangtuanya bila merugikan orang lain. Praktek-pratek semacam ini dan sikap saling menghormati banyak kita temui di Jepang. Berbeda kalo di tanah air, anak-anak kecil dianggap orangtuanya masih kecil sehingga dibiarin mengganggu kepentingan orang lain. Contoh kecilnya, ketika sedang bertamu ke rumah orang lain, biasanya si orangtua membiarkan anaknya yang masih kecil membanting remote ato memukul tv kepunyaan tuan rumah karena si orangtua menganggap anaknya belum mengerti padahal yang benar adalah si orangtua harus mencegah dan menjaga anaknya tidak melakukan hal tersebut.

Bila seorang pejalan kaki menghalangi jalan orang yang bersepeda, akan kita dapati antara si pejalan kaki dan si pengendara sepeda akan sama-sama mengucapkan kata “sumimasen ato gomen” yang artinya ”maaf”, bagaimana kedua belah pihak saling menghormati satu sama lain. Adapun bila kita mengalami suatu kesulitan dan kita meminta bantuan, pada umumnya orang Jepang membantu gak tanggung-tanggung. Terus terang selama saya hidup di Jepang banyak kemudahan-kemudahan yang saya peroleh. Disini orang-orangnya mo bantu siapa aja, gak memandang apakah dia tua ato muda, penduduk asli atopun orang asing, cakep ato jelek dan orang yang gak beruntung sekalipun mendapat tempat di negri ini.

Kebetulan tempat tinggal saya berdekatan dengan rumah sakit jiwa, yang stress dan gila numplek di sana. Dalam bayangan saya, orang-orang yang stress dan gila tersebut pasti dikurung seperti gambaran umum di tanah air. Kadang kala saya ngeliat orang-orang yang gila dan stress itu disuruh marathon (jalan pagi), kadang saya liat suka diajak berjalan-jalan dan melakukan aktivitas orang sehat lainnya. Ternyata mereka gak dianggap orang stress ato gila, mereka diperlakukan secara manusiawi dan sebagai orang yang sehat.

Jepang boleh dikatakan negri yang aman buat ditinggali para keluarga. Bagaimana tidak, akses-akses publiknya betul-betul menunjang kepentingan keluarga. Bagaimana pemerintah memudahkan penggunaan asuransi kesehatan bagi semua masyarakatnya. Semua masyarakat mempunyai asuransi kesehatan, apakah dia seorang pegawai negri ataukah dia seorang pegawai swasta, siapapun dia bisa memiliki asuransi kesehatan. Asuransi tersebut bisa digunakan di mana aja, apakah mau digunakan di pelayanan kesehatan negri maupun swasta. Negri ini memang betul-betul memikirkan derajat kesehatan seluruh masyarakatnya. Gak akan kita temui orang pemakai asuransi kesehatan akan diberikan perlakuan di bawah standar kesehatan karena dianggap tidak mampu. Anggapan-anggapan sinis semacam itu gak ada di Jepang. Masyarakatnya tidak menganggap rumah sakit ato pelayanan kesehatan lainnya sebagai momok menakutkan. Semua masyarakat mencintai pentingnya hidup sehat dan menjaga kesehatannya dan bila mereka sakit, mereka gak akan takut ke rumah sakit dikarenakan kepentok masalah biaya. Semua masyarakat mendapat perlakuan yang sama, apakah dia kaya ato miskin, apakah dia orang asing ato penduduk asli, semua mendapat perlakuan yang sama. Adanya kebijakan biaya di pelayanan kesehatan negri maupun swasta tidak jauh berbeda dan kebijakan harga obat antara apotek negri maupun swasta bisa dikatakan sama ato tidak jauh berbeda. Tak akan kita temui pihak swasta mencari untung sebesar-besarnya dengan meningkatkan harga obat.

Kalau anda tinggal di Jepang, anda akan melihat setiap ruas jalan untuk umum akan ditemui jalan khusus buat penyandang cacat penglihatan (buta). Di setiap traffic light dilengkapi tombol yang bisa dipencet para penyadang cacat. Hal ini menggambarkan bagaimana pemerintah Jepang betul-betul memperhatikan nasib penyandang cacat. Di setiap jalan yang ada di Jepang akan ada ruas-ruas jalan bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda, hal ini meminimalkan resiko kecelakaan terjadi. Setiap tempat, apakah ibukota ato daerah sekalipun selalu dilengkapi taman-taman yang memungkinkan sebuah keluarga bermain-main di sana sehingga kemana aja kita pergi, akan kita temui taman-taman kota yang bersih dan tertata rapi. Negri ini sangat memperhatikan betul penghijauan dan mencegah berbagai macam polusi. Terus terang, selama saya tinggal di sini, tentu merasa aman membawa bayi keluar karena kendaraan roda empat tidak mengeluarkan asap kendaraan. Asikk bukan…semua aman dan terjamin.

Mental orang Jepang saya acungin jempol, mental penyabar dan mau ngantri. Orang Jepang pada umumnya mau ngantri untuk makanan yang dianggapnya enak. Pada dasarnya orang Jepang memang suka mencoba-coba makanan dan kalau saya perhatikan mereka suka segala macam makanan laut seperti gurita, kepiting, udang, berbagai ikan dll. Selain itu, mereka juga suka makan sayuran segar ato ikan dan udang segar yang dibuat “sushi”. Adapun dalam mengolah makanan lebih banyak dalam bentuk rebusan ato panggang, jarang sekali digoreng karena pada umumnya orang Jepang menjaga sekali kesehatannya selain mereka juga suka berolahraga. Maka tak heran orang-orang tua Jepang dibilang “sakti-sakti”, walopun mereka sudah berusia lanjut tapi mereka masih kuat jalan dan melakukan aktivitas lainnya.

Mental orang Jepang lainnya adalah jujur dan tidak suka mengambil barang yang bukan haknya. Saya pernah membuktikannya sendiri, barang ditaruh di mana aja gak bakal hilang, kalaupun hilang bearti yang mengambilnya orang asing. Dan sayapun pernah membeli barang yang ternyata barang tersebut ada cacatnya, si penjual serta merta memberitahukan bahwa barang yang akan saya beli ada cacatnya dan si penjualpun menawarkan barang yang lain dan menanyakan keseriusan saya membeli barang tersebut. Seandainya saya serius membeli barang cacat tersebut, si penjual akan memberikan potongan harga. Kalau ingin berdagang yang jujur, belajarlah cara berdagangnya orang Jepang. Persaingan dagang mereka dikatakan persaingan sportif, jadi tak masalah buat mereka bila banyak didirikan toko-toko yang menjual barang yang sama.

Adapun dalam hal membayar harga barang yang kita beli, biasanya si penjual menyebutkan secara jelas harga barang yang tercantum dan akan mengembalikan sisa uang secara utuh, tak ada istilah kurang ato ganti permen karena tak ada kembalian. Antara penjual dan pembeli sama-sama diuntungkan dan merasa puas.

Dengan tekhnologi tinggi yang dimiliki negri ini tentu saja memudahkan segala urusan. Pemerintah tak perlu menyiapkan petugas penjaga untuk melihat apakah ada kecurangan-kecurangan di setiap tempat karena setiap tempat umum kecuali toilet dan kamar ganti dipasang kamera. Kalaupun ada pos-pos polisi yang dilengkapi dengan kendaraan bebek taon 70-an, itu hanyalah sebagai fungsi kontrol aja. Beli minuman ada vending mesin, beli tiket apapun dikelola oleh mesin-mesin pencetak tiket, keluar masuk stasiunpun dicek oleh mesin-mesin tiket, bila tiket yang kita beli tidak sesuai harga dengan tempat pemberhentian kita, tentunya kita tak bisa melewati pintu keluar, kita harus membayar kekurangannya dulu untuk bisa keluar. Jadi, untuk orang-orang yang suka mencari kesempatan untuk gak jujur, gak akan pernah nyaman tinggal di Jepang ^-^

Bila kita mengunjungi pelayanan publik di Jepang, gak akan kita temui orang berleha-leha dan ongkang-ongkang kaki, semua sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sistem kerja di Jepang sifatnya merangkap, jadi semua yang bekerja harus bisa dan menguasai semua hal. Suatu kali saya pernah datang ke kecamatan setempat mengurus KTP, semua sibuk dan tidak satupun saya lihat baca-baca koran ato majalah dan bila ada yang datang, mereka langsung antusias menanyakan keperluan kita dan bila ada masalah yang timbul, mereka berusaha membantu menyelesaikanya, tak ada istilah “maaf, saya sedang sibuk ato pura-pura tidak tau”, mereka betul-betul mengabdi terhadap pekerjaan yang mereka jalani. Beda sekali kalo dibandingin dengan pelayanan publik di tanah air, sesama pegawai bisa bercanda ria, ada yang sambil baca koran ato majalah, kalo ada yang datang bawaannya santai dan gak antusias, semisal yang datang gak bilang apa-apa, sampe taon depan gak bakal ditanyain petugas di tempat, yaa pokoknya jeleklah pelayanan publik di tanah air, gak hanya sistemnya yang jelek tapi juga mental orang-orangnya walaupun gak semuanya.

Ketika saya mengurus KTP di kecamatan Fuchu, Tokyo, waktu itu saya melihat seorang kakek sedang duduk dan tidak mendatangi petugas untuk menanyakan keperluannya, dia hanya diam dan sepertinya kebingungan. Tanpa saya sangka-sangka, ada petugas yang menghampiri si kakek dan berkata dengan lembut sambil menjongkok menghadap si kakek, serta merta mereka mengerti apa yang sebetulnya diinginkan oleh si kakek. Betul-betul mereka menghormati siapa aja yang datang…

Pernah suatu kali saya mengajak anak saya yang berusia 9 bulan ke supermarket. Tanpa sepengetahuan saya, kakinya menendang buah tomat sehingga tomat-tomat itu berhamburan. Dalam bayangan saya waktu itu adalah saya harus membayar semua tomat-tomat yang hancur, ternyata petugasnya bilang “tidak apa-apa” walopun saya sudah bilang berkali-kali bahwa saya akan membayar semua tomat yang rusak.

Di waktu yang lain pula, saya pernah menanyakan ke petugas supermarket dimana tempat kunyit. Terus terang, saya tak bisa bahasa Jepang sehingga yang jadi andalan saya adalah bahasa Inggris. Tentu saja, umumnya orang Jepang tak bisa bahasa Inggris tapi si petugas berusaha semaksimal mungkin mengerti apa maunya saya. Pada akhirnya, si petugas minta saya menunggu sebentar dan diapun memanggil temannya yang bisa bahasa Inggris dan masalahpun terselesaikan. Jangan dibayangkan jumlah petugas supermarketnya banyak dan bukan karena mereka punya cukup waktu untuk mengurusi konsumen melainkan bagaimana mereka memuaskan konsumen. Di Jepang jumlah petugas yang berkerja tidak banyak, Jepang mengutamakan jumlah pekerja se-efektif dan se-efisien mungkin sesuai kebutuhan dan pekerjaannyapun sifatnya lagi-lagi merangkap. Itulah Jepang…

Ternyata baru saya tau bahwa setiap pasien di rumah sakit manapun tidak diwajibkan harus membayar biaya rumah sakit saat itu juga. Ada keringanan-keringanan yang diberikan oleh pihak rumah sakit tergantung kemampuan pasien. Begitu juga dalam hal ngambil uang di bank, tidak ada istilah dipotong. Dalam penggunaan kartu kreditpun, tidak ada istilahnya nasabah dikenai bunga bila terlambat bayar. Biasanya nasabah ditelpon untuk diberikan peringatan, bila tidak ada tanggapan kartu kreditnya diblokir, hanya itu…gak ada istilah diteror ato sejenisnya. Dalam pengurusan kartu kreditpun tidak perlu mengecek apakah dia orang kaya ato miskin tapi cuma disesuaikan jumlah uang yang bisa dicashing disesuaikan dengan kemampuan. Saya bisa punya kartu kredit walaupun saya seorang ibu rumah tangga yang tidak punya penghasilan apa-apa. Lagi-lagi sangat berbeda sekali dengan negri kita sendiri…

Di Jepang, pekerjaan bertani dianggap sama baiknya dengan pekerjaan lainnya. Orang Jepang malah bangga bila harus berprofesi sebagai petani, begitu juga anak-anaknya gak merasa harus malu memiliki orang tua sebagai petani, bahkan umumnya orang Jepang kalo ditanya setelah pensiun mau jadi apa, jawabannya justru pengen jadi petani. Para petani di negri ini berkembang dengan maju karena sistem yang bagus dan tingkat tekhnologi yang canggih. Umumnya setiap petani memiliki mesin-mesin bertekhnologi yang memudahkan pekerjaan mereka. Jangan dibayangkan petani di Jepang ini seperti petani di tanah air yang dekil, jorok, dan keliatan kayak orang susah.

Meskipun tingkat keamanan tinggi di negri ini tapi saya tetap waspada. Mengapa demikian?? karena di negri ini mayoritas penduduknya tidak beragama mengakibatkan banyaknya orang-orang Jepang yang stress jadi sepatutnya kita jangan terlena begitu saja. Menyebrang jalanpun harus tengok kanan-kiri walopun sudah pasti semua kendaraan akan berhenti bila lampu hijau untuk pejalan kaki sudah menyala. Dan harus diingat pula, yang tinggal di Jepang ini tidak hanya orang Jepang saja tapi juga orang-orang dari berbagai negara yang menjadikan berbagai macam bentuk sikap mental. Jadi yaa harus tetap berhati-hati dan patut diingat pula orang Jepang tetaplah manusia, ada yang baik dan ada yang jahat, ada yang rajin dan ada yang malas tapi pada umumnya sifat dasarnya “Tak mudah akrab dengan orang yang baru dikenal dan lebih jawa dari orang jawa”. Ini menurut saya lhoo, mungkin anda-anda yang pernah tinggal di Jepang dan lebih mengetahui seluk beluk tentang Jepang punya pendapat yang berbeda. Silakan saja bila ada yang mau menambahkan…

Salam Persahabatan dan Persodaraan Selalu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar